Oleh:
Naufal Ridhwan Aly
Mahasiswa Sarjana
Filsafat Universitas Gadjah Mada
“Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa
daerah, dan kuasai bahasa asing”
-
Intisari Undag-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan -
Revolusi industri 4.0 adalah isu yang sedang naik
daun di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah melalui kementerian
Perindustrian bahkan sampai membuat road map bertajuk “Making Indonesia
4.0”[1]. Lalu
apa sebenarnya revolusi industri 4.0 itu? Menurut Listhari Baenanda (2019)
revolusi industri 4.0 menerapkan konsep automatisasi yang dilakukan oleh mesin
dalam pengaplikasiannya. Dalam era ini, banyak ditemukan inovasi teknologi
seperti Internet of Thing (IoT), Artificial Intelligence (AI), big
data, mesin pintar hingga robot.
Berdasarkan pengertian di atas, teknologi jelas
menjadi pusat perhatian. Namun, apakah memang hanya teknologi saja yang mempunyai
arti penting dalam revolusi industi 4.0? Meskipun teknologi berperan besar dan
dominan, peran bahasa juga tidak dapat dipandang sebelah mata di era revolusi industri
4.0. Mengapa demikian?
Bahasa adalah alat komunikasi. Keraf dalam Nurcholis
(2019) menyebutkan bahwa fungsi paling pokok dan efektif yang dimiliki bahasa
adalah kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan individu dan sosial yaitu sebagai
alat ekspresi manusia, alat dalam mengadakan integrasi dan memberikan cara
adaptasi sosial kepada masyarakat sosial, dan juga alat yang berfungsi sebagai kontrol
sosial. Karena itu, secanggih apapun teknologi dalam era revolusi industri 4.0
ataupun di masa depan, selama masih ada umat manusia, bahasa adalah kunci dari
peradabannya. Tanpa bahasa, manusia tidak akan dapat menyampaikan maksud,
tujuan dan pemikirannya sehingga inovasi akan mandeg karena mustahil manusia
bekerja seorang diri. Jika hal itu terjadi, pada akhirnya dunia akan mengalami
kemunduran, alih-alih kemajuan. Selain itu, bahasa sebagai keahlian juga
berfungsi secara pragmatis dalam menunjang kualitas kehidupan pribadi. Mam Eko,
guru bahasa Inggris saya sewaktu SMA dahulu pernah berkata:
“Sepintar
apapun kalian, jika tidak menguasai bahasa asing minimal bahasa Inggris. Kalian
tidak akan ke mana-mana, kalian akan terus di Indonesia”
Kata-kata tersebut masih membekas di ingatan saya
meskipun sudah diucapkan beberapa tahun yang lalu di dalam kelas ketika saya
masih kelas 2 SMA. Mam Eko, guru bahasa Inggris yang mengucapkan kata-kata
tersebut saat itu sedang bercerita. Ia menceritakan bagaimana saudaranya,
seorang Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang sudah mengabdi
lama di kesatuan tersebut tidak mendapatkan kesempatan dinas ke luar negeri
karena kemampuan bahasa asingnya yang minim meskipun kemampuan dalam hal lain
mumpuni. Hal ini berbanding terbalik dengan rekan sesamanya di kesatuan yang
kemampuan di bidang lain tidak semumpuni saudara guru saya, namun kemampuan
bahasa asingnya mumpuni.
Ia
melanjutkan bahwa dalam era digital yang mendisrupsi berbagai lini kehidupan
ini, kemampuan berbahasa adalah nomor satu, karena dengan menguasai kemampuan
bahasa asing, kesempatan-kesempatan terbuka lebar bagi kita. Jejaring dan
relasi akan semakin lebar bahkan mendekati tidak terbatas, apalagi di era
revolusi industri 4.0 yang lekat dengan digitalisasi. Karena itu, bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional memang sudah seharusnya menjadi bahasa
kedua bagi masyarakat dunia. Dengan menguasai bahasa Inggris, kita dapat lebih
mudah dalam mencari dan menambah wawasan keilmuan.
Bahasa Inggris juga dapat digunakan untuk membantu
mengenalkan budaya lokal ke dunia internasional sehingga dapat menciptakan
potensi transfer budaya yang menciptakan peluang yang tidak terduga dalam
mengenal budaya antar bangsa satu sama lain.
Selain kemampuan bahasa Inggris, bahasa Arab juga
patut kita perhatikan. Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Arab sebagai salah
satu bagiannya menempati posisi yang strategis. Dengan menguasai bahasa Arab,
kesempatan untuk dapat bersaing menjadi lebih mudah karena dapat memprediksi
dengan lebih baik sehingga strategi yang akan dipakai jauh lebih matang. Namun,
dalam tulisan kali ini saya lebih menekankan pada fungsi bahasa Arab sebagai
pendamping globalisasi, khususnya bagi umat Muslim.
Bahasa Arab menempati bahasa ke-6 dari 22 bahasa di
dunia karena perannya yang begitu luar biasa dalam bidang keagamaan dan
keilmuan. Keilmuan sekarang tidak lepas pengaruhnya dari ilmuwan-ilmuwan Arab
yang dari karyanya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, kemudian
dikembangkan menjadi ilmu yang mapan seperti saat ini. Dengan kata lain, bahasa
Arab adalah dasar dan fondasi dari berbagai macam ilmu.
Dalam revolusi Industri 4.0 dimana sekat-sekat
negara, budaya dan lain sebagainya dilampaui, sangat mungkin keyakinan dan
prinsip hidup terpengaruh oleh globalisasi. Di sinilah peran penting bahasa
Arab. Jika bahasa Inggris membantu dalam hal globalisasi, bahasa Arab dapat menjadi
pendamping globalisasi yang membantu untuk tetap ingat dengan identitas
seseorang, khususnya bagi umat Muslim. Dengan menguasai bahasa Arab, akan lebih
mudah untuk mempelajari apa yang sebenarnya dikandung dan diperintahkan oleh
Islam melalui teks-teks babon dan aslinya bahkan tanpa perlu perantara
sekalipun sehingga dapat menghindari translasi yang dapat mengurangi maksud dan
tujuan yang ingin disampaikan oleh Islam. Jika sudah seperti itu, pengetahuan
keagamaan seorang Muslim akan meningkat dan pondasi keimanannya akan semakin
kokoh karena kesadarannyapun turut meningkat, alih-alih menipis karena pengaruh
negatif dari globalisasi. Seperti kata Ibnu Taimiyah:
“Ketahuilah,
perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya
intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi
nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani
generasi awal umat ini dari kalangan sahabat dan meniru mereka, akan
meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika.” (Imam dalam Pane, 2018)
Dengan menguasai dwifungsi bahasa Inggris dan bahasa
Arab. Selain pintar akal, kita juga menjadi cerdas spiritual. Jargon cerdas dan
berakhlakul karimah yang biasa terpampang di institusi keagamaan Islam juga
menjadi kian bermakna karena telah dipraktekkan dan diamalkan dalam kehidupan.
Apalagi, di zaman digital seperti sekarang ini, belajar jadi lebih mudah.
Banyak aplikasi gratis yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berbahasa
asing, baik Inggris maupun Arab seperti duolingo. Youtube juga dapat menjadi
tempat melatih bahasa asing yang efektif. Jika mempunyai biaya lebih, dapat
mencoba mengikuti kursus agar hasil yang didapatkan dapat lebih maksimal.
Intinya, selama ada kemauan, disitu juga terdapat jalan dan peluang. Jadi sudah
tidak ada alasan lagi untuk tidak dapat berbahasa asing, selain kemalasan.
Terakhir, meskipun bahasa asing memang penting di era revolusi industri 4.0,
kita juga harus tetap menjaga berbagai macam bahasa daerah dan bahasa nasional
yang telah kita miliki, seperti yang telah diamanatkan oleh Undag-Undang Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan, utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai
bahasa asing.
Daftar Pustaka
Baenanda, Listhari. 2019. Mengenal Lebih
Jauh Revolusi Industri 4.0. https://binus.ac.id/knowledge/2019/05/mengenal-lebih-jauh-revolusi-industri-4-0/,
diakses
pada tanggal 8 Juni 2020.
Nurcholis, Ahmad. 2019. Tantangan Bahasa
Arab Sebagai Alat Komunikasi di Era Revolusi Industri 4.0. Arabiyatuna
Vol.3 No. 2, 283-298.
Pane, Akhiril. 2018. Urgensi Bahasa
Arab; Bahasa Arab Sebagai Alat Komunikasi Agama Islam. Komunikologi: Jurnal
Pengembangan Ilmu Komunikasi dan Sosial Vol. 2 No.1, 77-88.
Biodata Penulis
Nama : Naufal Ridhwan Aly
Asal Institusi/Kampus : Universitas Gadjah Mada
Fakultas/Jurusan :
Filsafat/Ilmu Filsafat
Semester :
4 (empat)
[1] Selengkapnya dapat
dilihat di Kementerian Perindustrian. Making Indonesia 4.0, https://www.kemenperin.go.id/download/18384
Tidak ada komentar:
Posting Komentar